Ada Apa Dengan S2?
Kenapa Kalau masih bisa S2?
Baiq....
Gue akan menceritakan kenapa bisa sampe S2. Sebenarnya enggak kepikiran sama sekali buat lanjut (awalnya) karena cita-cita sebenarnya itu menjadi dokter bukan psikolog. Dari TK-SMA cita-cita itu enggak pernah berubah. Udah yakin dan mateng banget kenapa mau jadi dokter. Tapi kenyataan berkata lain, sudah mencoba beberapa universitas tetap saja tidak lolos. Sampai akhirnya gue nge-down-se-nge-down-nya karena harapan gue pupus. Berawal dari teman SMA yang memiliki nasib yang sama pasrah dan berniat melamar ke jurusan psikologi, akhirnya gue ikutlah daripada enggak jelas nunggu pengumuman sana-sini. Saat kuliah psikologi, gue menjadi semakin tertarik sama dunia ini. Dunia yang menurut gue itu luas banget, kalau dijabarin enggak cukup dalam beberapa hari saja, bahkan bisa bertahun-tahun untuk memahami dunia ini. Bukan.....bukan karena dunia ini susah untuk dipelajari...tapi susah untuk dimengerti orang-orangnya. Karena kita sebagai anak psikologi sendiri sudah memiliki beban "psikologi" di pandangan orang-orang. Bagi yang belum tau psikologi itu adalah ilmu yang mempelajari jiwa (kalau dari segi arti) tapi disini yang dimaksud jiwa adalah mental seseorang. Mental itu emang tidak nampak seperti kalau kita sedang sakit flu, pasti dia sudah bangkis, sudah mengeluarkan ingus, atau gejala lainnya. Mental itu cuma bisa dirasakan oleh si pemilik mental tersebut, hanya dialah yang tau dia seperti apa. Tapi mental itu juga bisa dilihat melalui tingkah laku manusia. Seseorang yang memiliki gangguan mental pasti ada ciri-ciri yang berbeda dari biasanya. Nah, itulah yang dicari oleh anak psikologi. Kenapa seseorang itu bisa berbeda-beda. Di saat mempelajari psikologi, gue udah mulai punya rencana untuk memikirkan masa depan setelah lulus dari sini. Awalnya gue masih belum tau sama sekali pekerjaan psikologi itu apa aja. Setelah kenalan dengan beberapa mata kuliah, jatuh cintalah gue sama "Klinis". Mungkin bagi sebagian anak psikologi bagian ini berat, dan susah. Awalnya gue juga kurang yakin, tapi gue percaya kok, selama kita konsisten di pilihan kita, Insha Allah akan selalu ada jalan untuk menuju yang kita inginkan, dan gue percaya sebelum kita mencoba sesuatu kita tidak akan pernah tau sampai mana batas kemampuan kita.
Awal-awal masuk klinis, simple karena biar berguna aja IPA gue semasa SMA. Tapi makin kesini mikirnya udah bukan itu lagi. Di klinis memang banyak banget hafalan tentang penyakit/gangguan mental. Gue engga pernah memaksakan untuk menghafal, sekarang lebih fokus kemakna dari apa yang udah diajarkan. Setelah gue merasa cocok dengan klinis, gue mencari tau kalau klinis pekerjaannya apa saja. Waktu itu gue mikirnya kalau konselor itu bukan dari klinis, karena secara garis besar konselor itu cuma menangani permasalahan manusia secara sosial, pendidikan ataupun karir. Tapi waktu itu ada salah satu teman dan senior yang memberitahu, kalau konselor merupakan bagian dari klinis juga. Dan enggak cuma itu aja, klu mau konselor harus S2. Dulu terinspirasi jadi konselor rumah tangga karena nonton film "testpack", berhubung waktu itu gue masih remaja, lagi jaman-jamannya anak labil, dan entah kenapa suka aja sama hal-hal yang berbau "relationship". Padahal gue enggak ahli dalam bidang itu. Dari sanalah, gue mencari tau lebih dalam tentang klinis, konselor sampai psikolog.Apa bedanya Magister Profesi dengan Magister Sains? Haruskah aku mengambil Profesi?
Setelah mikir-mikir selama perkuliahan S1, akhirnya gue memutuskan untuk lanjut, tapi belum tau lanjutnya setelah lulus S1 atau kerja dulu/nikah dulu baru lanjut. Itu masih di kerangka berfikir aja loh belum sampe kemana-mana wkwkwk. Sempet juga teman-teman bilang "Kalau gue jadi lu mending kerja dulu sih, biar ada penghasilan, biar kuliahnya biaya sendiri, mending cari pengalaman dulu, soalnya ada sodara yang S2 juga tapi dia belum kerja2 malah, yang penting pengalaman bukan pendidikan". Pada saat itu gue merasa sedih sih.....teman yang gue kenal ngomong seperti itu, seperti kalian suka sama dia tapi teman tidak menyetujuinya (apasih). Gue tidak menyalahkan teman gue karena berpendapat seperti itu, gue juga merasa omongan dia memang ada benarnya (tidak semua). Ketika dia bilang "yang penting pengalaman bukan pendidikan", kalimat ini menggambarkan Indonesia banget sih, karena di Indonesia tidak memandang sebagaimanapun pendidikan kalian tetap aja tidak dihargai, makanya fresh graduate pun masih banyak yang nganggur. Gue juga maunya kuliah biaya sendiri, tapi gue mikir, kalau gue kerja dulu terus nikah (misalkan) kalau iya suami gue mengijinkan gue lanjut buat S2 (syukur-syukur mau dibiayain) kalau iya pun pasti setelah anak diusia 4-5tahun mungkin, waktunya lama untuk kesitu. Gue sadari diri aja, orangnya enggak pinter, enggak rajin, malah selow banget (ini pas S1) gimana nanti ketika sudah beberapa tahun tidak bertemu buku/tugas, belum lagi mengurus anak/suami, yang belum tentu bisa gue pegang semuanya. Ini aja walaupun cuma kuliah juga belum tanggap dalam menghandle tugas-tugas. Gue takutnya, ketika gue sudah mengenal uang dan males, jadi semakin tidak ada niatan untuk kesana, karena udah terbiasa tidak memikirkan tugas-tugas itu.
Perbedaan Magister Profesi Psikologi dengan Magister Sains Psikologi itu sangat berbeda. Gue memilih melanjutkan Magister Profesi Psikologi karena setelah lulus title nya menjadi "M.Psi, Psikolog", kita bisa membuka praktik sendiri ataupun praktik di rumah sakit atau lembaga psikologi. Berhubung kuliah gue profesi, terutama di kampus gue pribadi itu di tempuh selama 2,5tahun, waktu angkatan gue itu semester 1-2 tugas kita hanya belajar di kelas, masih berkutat dengan jurnal/penelitian terdahulu, statistik dan UTS/UAS tapi tidak semua mata kuliah, ulangannya pun essai dan ada beberapa yang open book. Semester 3, memasuki fase mayoring (mata kuliah utama) yaitu klinis, di sini mulai PKPP (Praktik Kerja Profesi Psikologi) untuk mayoring, semester 4, kuliah di kelas selama satu bulan dan 3 bulannya magang PKPP untuk minoring (mata kuliah pilihan), setelah selesai sidang yang harus dilewati adalah 4x, sidang mayor & minor yang diujikan oleh dosen pembimbing di kampus, sidang HIMPSI (seperti ujian negara karena yang menguji itu Himpunan Psikologi alias yang sudah menjadi Psikolog) dan setelah itu bisa melanjutkan tesis lalu sidang tesis dan wisuda deh. Untuk Magister Sains Psikologi, bedanya mereka tidak bisa buka praktik, dan mereka cuma bisa menjadi penelitian. Kalau tidak puas sama apa yang dijelaskan silahkan google aja.
Perbedaan Magister Profesi Psikologi dengan Magister Sains Psikologi itu sangat berbeda. Gue memilih melanjutkan Magister Profesi Psikologi karena setelah lulus title nya menjadi "M.Psi, Psikolog", kita bisa membuka praktik sendiri ataupun praktik di rumah sakit atau lembaga psikologi. Berhubung kuliah gue profesi, terutama di kampus gue pribadi itu di tempuh selama 2,5tahun, waktu angkatan gue itu semester 1-2 tugas kita hanya belajar di kelas, masih berkutat dengan jurnal/penelitian terdahulu, statistik dan UTS/UAS tapi tidak semua mata kuliah, ulangannya pun essai dan ada beberapa yang open book. Semester 3, memasuki fase mayoring (mata kuliah utama) yaitu klinis, di sini mulai PKPP (Praktik Kerja Profesi Psikologi) untuk mayoring, semester 4, kuliah di kelas selama satu bulan dan 3 bulannya magang PKPP untuk minoring (mata kuliah pilihan), setelah selesai sidang yang harus dilewati adalah 4x, sidang mayor & minor yang diujikan oleh dosen pembimbing di kampus, sidang HIMPSI (seperti ujian negara karena yang menguji itu Himpunan Psikologi alias yang sudah menjadi Psikolog) dan setelah itu bisa melanjutkan tesis lalu sidang tesis dan wisuda deh. Untuk Magister Sains Psikologi, bedanya mereka tidak bisa buka praktik, dan mereka cuma bisa menjadi penelitian. Kalau tidak puas sama apa yang dijelaskan silahkan google aja.
Gue pun mematangkan pemikiran itu lagi, Yakin S2? Buat apa sih S2? Kenapa harus S2? Manfaat/Keuntugan/Kekurangan apa yang didapat ketika S2? Tapi ada satu yang membuat gue semangat dan merasa dipercayai. Ketika orang tua mendukung gue buat lanjut S2.
Awalnya sih waktu ditanya :
Teman-teman Ortu : "mau kerja dimana nanti, ditempat papa yah?",
Guue :"enggak suka kerja kantoran",
teman-teman Ortu : "kenapa?"
Gue : "udah terlalu biasa aja, maunya sih buka praktek sendiri nanti"
Teman-teman Ortu : "oh berarti S2 dongnya klu psikologi"
Gue : "iya"
Nah, enggak itu aja sih. Di kantor Bokap juga suka ada recruiment gitu tapi yang merekrut anak-anak psikologi dari univ ternama, dari situ dia cari tau tentang psikologi sendiri. Dan bahkan pas gue semester 6 masih bikin STP, udah ngomongin mau lanjut kuliah (S2) apa gimana? Terus kalau lanjut mau dimana?, udah disiapkan belum apa aja syarat-syaratnya. Bahkan gue belom mikir sejauh itu. Tapi gue senang karena ada yang mendukung dan setuju kalau gue melanjuti perkuliahan ini.
Setelah gue lulus, gue sempet lamar-lamar kebeberapa perusahaan (dikit sih) tapi lebih banyak melamar jadi guru. Tapi enggak ada yang nyangkut. Ortu bilang "Mau kerja apa kuliah? kalau mau kuliah fokus aja kesitu". Mungkin karena efek gue enggak suka kerja kantoran juga kali yaa jadinya enggak ada yang nyangkut wkwkwk. Jadi, gue enggak pernah ngomong secara langsung sama ortu kalau gue mau kuliah S2, enggak pernah ada omongan serius atau apapun itu. Tapi mereka tau anaknya mau sampai situ. Bersyukur aja punya orang tua yang demokratis soal kehidupan gue, membebaskan anaknya mau memutuskan seperti apa. Jujur, ngerasa berat karena mereka mendukung dan percaya. Sedangkan anaknya terkadang suka terlalu selaw wkwkwk. Setelah lulus, jujur banget gue kurang prepare. Awalnya, gue ingin kuliah di universitas negri. Gue ingin meringankan beban ortu, dan ingin suasana baru, karena kepo sih kuliah dikampus negri seperti apa. Dan ingin keluar dari zona nyaman, ingin mandiri. Jujur, gue merasa kurang persiapan untuk masuk ke perguruan tinggi, karena gue baru mulai belajar TPA dsb itu dimulai januari, dan emang belajar juga engga intens seperti orang-orang. Yha maklumlah, pelajaran SMA/dasar TPA udah dbuang jauh-jauh setelah lulus sekolah wkwkwk. Tapi, gue tidak menjadikan itu sebagai patokan, gue sadar diri aja kemampuan gue sampai mana, persiapan gue sejauh apa, jadi kalau hasilnya enggak sesuai harapan, enggak usah berkecil hati, karena itu tadi kampus manapun semuanya punya positif dan negatif, tinggal kita yang menjalaninya. Kalaupun diterima kampus terbaik tapi sebagai mahasiswa kita tidak menjadikan diri kita lebih baik, buat apa? Toh semua teori-teori yang diajari sama, cuma pemahamannya aja yang berbeda. Tau rasanya ditolak itu bagaimana, pernah ngalemin pas SMA, dan sekarang lebih legowo aja.
Akhirnya, gue hopeless karena belum dapet kerjaan. Jujur enggak sedih, karena memang entah kenapa gue tidak terlalu excited sama dunia perkantoran. Menurut gue boring (itu-itu aja), udah gitu terikat kontrak selama beberapa bulan, dan memang kerjanya 8-12 jam. Enggak betah aja, belum lagi denger cerita orang-orang tentang linkungan perkerjaan/perkantoran yang memang jahat (enggak selalu sih) cuma yaa gue paling males banget kalau soal perdramaan gitu. Kurang lebih sih itu ceritanya kenapa bisa sampai memilih untuk S2. Simple sih wkwkwk. Dan ini akan kuceritakan curahan netijen mengenai dakuh yang memilih untuk melanjutkan pendidikan S2 bukannya kerja wkwkwk.
Netijen :" Perempuan itu cukup S1 aja, Jangan ketinggian nanti kesian suaminya. "
" Jangan terlalu belajar, udah S2 cari pacar/jodoh biar enggak kelamaan nanti setelah lulus langsung nikah, jangan lama-lama. Mulai sekarang nyari jodoh."
" Mending lu kerja dulu deh, biar ada pengalaman, soalnya ketika lu nanti didunia kerja, perusahaan tuh enggak nilai ipk, atau ilmu yang lu punya, mereka cuma butuh skill dan pengalaman lu aja."
" Enggak capek apa belajar mulu? gue aja udah males gegara skripsi doang maren"
" Klu S2 langsung nanti pas kerja susah dapetnya, karena lu belum punya skill apa2, percuma otak pinter tapi pengalaman nihil, soalnya ada beberapa teman gue yang seperti itu, dia sampai sekarang masih nganggur".
" Wah bahaya nih S2, nanti kalau cari cowok benar-benar perfect dong, karena belajar tentang psikolog yang pasti bisa baca nanti cowok-cowok gimana."
Seperti itulah kalimat-kalimat yang diutarakan oleh netijen-netijen wkwkwk. Sekali lagi, Terima kasih atas perhatian kalian atas diriku. Terima kasih karena sudah mengingatkan hal-hal yang tidak saya ketahui akan masa depan nantinya. Terima kasih telah khawatir akan diriku. Sejujurnya aku khawatir akan masa depan, itu hal wajar dan itu manusiawi. Sejujurnya, aku lelah mendengarkan obrolan-obrolan seperti ini. Teruntuk keluarga besar, kalian adalah keluarga yang memang bukan inti, tapi kalian keluarga pendukung yang terdiri dari beberapa keluarga inti. Kalian keluarga besar yang sudah pasti ada hubungan darah, dan silsilah keluarga, cobalah untuk menghargai keputuan seseorang, selama itu positif dukunglah mereka. Teruntuk teman sepermainanku, kalian adalah teman yang diriku kenal dengan baik, jadilah support untuk temanmu, jadilah pendengar cerita keluh kesah temanmu, bukan membuat seseorang down. Teruntuk kalian pernah mengatakan kalimat di atas kepada diriku, Selamat! kalian telah membuat seseorang khawatir akan masa depannya. Selamat! kalian telah menyadarkan diriku apa artinya diriku sebenarnya untuk kalian. Mungkin aku ini terlalu baik padamu, terlalu berpikir bahwa kalian semua terlalu basa basi.
Intinya itu tidak ada alasan khusus kenapa gue mau melanjutkan kuliah S2 yang menurut orang-orang merupakan hal yang tidak wajib. Memang tidak wajib bagi anda, tapi bagi saya itu sebagai prioritas, karena pendidikan itu bukan suatu kewajiban melainkan prioritas tiap individu. Dan memang prioritas masing-masing setiap orang berbeda, ada yang memilih karir, uang, relationship alias pernikahan, semua itu hal yang baik dan benar, tergantung bagaimana kita menjalankan, konsistensi dan tanggungjawab sama apa yang menjadi urusan masing-masing. Menurut gue, pendidikan itu basic yang memang perlu untuk kehidupan ini, karena hidup itu balance, tidak bisa cuma bergantung dari suatu sudut, tidak hanya mengandalkan kepintaran, bakat, uang, jabatan atau apapun itu. Melainkan keseimbangan yang ada di dalam diri kita sehingga membentuk suatu karakter pribadi yang menjadi lebih baik lagi. Bukan berarti orang yang memiliki pendidikan tinggi udah pasti pintar dan tau akan hal segalanya itu belum tentu, karena sampai detik ini akan selalu belajar, hidup itu belajar terus menerus sampai akhir hayat. Belajar kehidupan tidak semudah belajar pelajaran mata kuliah ataupun suatu bidang tertentu.
Hal yang membuat gue mencintai profesi psikologi ini adalah belajar mencintai diri sendiri itu tidak mudah, yang paling susah adalah belajar acceptance. Sampai detik ini gue masih belajar buat menerima kenyataan bahwa at the sometimes "Ya udahlah ya" seperti better than "ngeluh", bukannya tidak boleh ngeluh cuma terkadang capek aja toxic sama diri sendiri. Hidup bakalan lebih asik kalau "Ya lu enjoy". Weeiittsss.... masih banyak lagi yang bakal di share, tungguu sampai bulan desember aja gaes, karena part selanjutnya bakalan share tentang PKPP (Magang) biar pada punya gambaran yang bakalan mau lanjut S2 atau referensi bagaimana caranya "to be Pscholog". See you until December!!!!
Intinya itu tidak ada alasan khusus kenapa gue mau melanjutkan kuliah S2 yang menurut orang-orang merupakan hal yang tidak wajib. Memang tidak wajib bagi anda, tapi bagi saya itu sebagai prioritas, karena pendidikan itu bukan suatu kewajiban melainkan prioritas tiap individu. Dan memang prioritas masing-masing setiap orang berbeda, ada yang memilih karir, uang, relationship alias pernikahan, semua itu hal yang baik dan benar, tergantung bagaimana kita menjalankan, konsistensi dan tanggungjawab sama apa yang menjadi urusan masing-masing. Menurut gue, pendidikan itu basic yang memang perlu untuk kehidupan ini, karena hidup itu balance, tidak bisa cuma bergantung dari suatu sudut, tidak hanya mengandalkan kepintaran, bakat, uang, jabatan atau apapun itu. Melainkan keseimbangan yang ada di dalam diri kita sehingga membentuk suatu karakter pribadi yang menjadi lebih baik lagi. Bukan berarti orang yang memiliki pendidikan tinggi udah pasti pintar dan tau akan hal segalanya itu belum tentu, karena sampai detik ini akan selalu belajar, hidup itu belajar terus menerus sampai akhir hayat. Belajar kehidupan tidak semudah belajar pelajaran mata kuliah ataupun suatu bidang tertentu.
Hal yang membuat gue mencintai profesi psikologi ini adalah belajar mencintai diri sendiri itu tidak mudah, yang paling susah adalah belajar acceptance. Sampai detik ini gue masih belajar buat menerima kenyataan bahwa at the sometimes "Ya udahlah ya" seperti better than "ngeluh", bukannya tidak boleh ngeluh cuma terkadang capek aja toxic sama diri sendiri. Hidup bakalan lebih asik kalau "Ya lu enjoy". Weeiittsss.... masih banyak lagi yang bakal di share, tungguu sampai bulan desember aja gaes, karena part selanjutnya bakalan share tentang PKPP (Magang) biar pada punya gambaran yang bakalan mau lanjut S2 atau referensi bagaimana caranya "to be Pscholog". See you until December!!!!
Komentar